dr. Prasarita Esti Pudyaningrum
Hidup di dunia penuh tuntutan, target tinggi, dan penuh
dengan ekspektasi melampaui batas dari orang lain itu memang melelahkan. Hal-hal
seperti ini biasanya banyak terjadi di dunia kerja. Gaji tidak seberapa tapi
tuntutannya besar sekali. Kadang sudah dapat gaji sesuai tapi juga masih mengeluh.
Padahal ada banyak orang di luar sana yang sulit sekali dapat pekerjaan, ups.
Kadang saking burn out nya, akhirnya kita tanpa sadar
juga menjadi orang yang mudah sekali menuntut orang lain, menaruh target
tinggi, yang parah juga mudah sekali akhirnya melihat kekurangan dan kesalahan
orang lain, padahal dirinya sendiri juga banyak salah. Kesalahan kecil akhirnya
dapat memicu konflik, hati yang biasanya lapang jadi mudah tersakiti. Tidak sadar
bahwa itu berasal dari hati yang lelah dan mungkin terluka. Akhirnya kita
melupakan yang namanya belas kasihan. Entah yang butuh belas kasihan itu orang
lain atau diri sendiri, yang pasti kita lupa dengan yang namanya belas kasihan.
Melupakan hal ini kadang dapat memanipulasi hati dan memunculkan sikap menjebak
orang lain untuk berbuat salah lalu memblow up kesalahan tersebut. Padahal
mungkin akarnya hanya karena tidak terima dan tidak nyaman dengan situasi yang
penuh tuntutan. Am I wrong? Sela.
Jika ditarik ke belakang, sulit sekali memberikan belas
kasihan kepada orang lain, apakah karena kita belum mengalami belas
kasihan dari Allah? Apakah besarnya kasih Allah itu tidak terasa nyata dalam
hidup kita? Apakah kita juga kurang menyadari bahwa keberadaan diri kita tidak
lebih baik dari orang lain?
Sebagai manusia kita diajar untuk mengasihi Allah dan
manusia. Tertulis jelas dalam 2 perintah utama. Tapi bagaimana kita bisa mengasihi
Allah jika kita tidak mengerti sebesar apa kasih Allah bagi kita? Kesalahan terbesar kita kadang berfokus dengan
pertanyaan sudah cukupkah saya mengasihi Allah? Padahal ada pertanyaan “sudah
mengertikah saya akan besarnya kasih Allah bagi saya?” yang lebih perlu kita
hayati. Yesus disalib seraya ingin menyampaikan pesan: Aku mengasihimu sebesar
ini. Aku mati bagimu di saat engkau berdosa. Aku tidak mau kehilanganmu. Salib
semahal itu, untuk hidup kita yang fragile dan fana ini, Yesus berkorban.
Seringkali kegagalan kita untuk memahami besarnya kasih Allah itu menghambat
kita tidak hanya untuk mengasihi Allah maupun orang lain, bahkan diri sendiri,
ups. Kita juga sering mengukur kasih Allah dengan semua doa kita yang
dikabulkan, lantas jika doa tidak dikabulkan Allah menjadi jahat kepada kita ko?
Tanpa sadar kita pun menaruh standard sendiri tentang Allah. Kita tidak membuka
diri untuk mengenal Allah yang sebenarnya, tapi mengotakkan Allah yang besar
itu dalam pikiran kita yang kecil. Kita menuntut Allah memenuhi harapan kita,
tapi lupa ada bagian-bagian kita harus taat. Salib hari ini mengingatkan saya
untuk kembali merenungkan keberadaan Allah dan diri sendiri. Menolong untuk
semakin rendah hati hari ke hari. Saya tidak selalu benar!
Hal kedua, kegagalan kita dalam mengasihi orang lain sebenarnya
adalah kegagalan kita mengenal dan mengasihi diri sendiri. Natur dosa terkadang
sangat merintangi cara pandang dan sikap hati kita. Awalnya kita dididik
hal-hal baik yang awalnya kita tidak tahu fungsinya, tujuannya, sehingga kita
menjalani didikan dalam keluhan. Akhirnya kita merasa dituntut sedemikian rupa.
Kita menutup diri untuk dilayani pemulihan hati oleh Tuhan. Akhirnya sakit itu kita
bawa terus dan kita lanjutkan kepada orang lain lagi. Dalam hal ini, kita
menaruh besar ukuran kita kepada orang lain. Kita memaksa orang lain merasakan yang
kita rasakan. Kita membuat hidup orang lain merana tapi lupa kitalah yang
sebenarnya butuh pertolongan. Kita melupakan kita butuh belas kasihan itu
sendiri. Kita membuat diri kita ribet sedemikian rupa dengan semua hal. Jika hari
ini dtanyakan, kita sedang menyenangkan siapa, kita sedang melayani siapa? Apakah
semua tuntutan itu datang dari Allah atau dari pribadi kita sendiri? Yesus
pernah bilang kuk yang Kuberikan kepadamu ringan, kadang kita tambahi sendiri
bebannya memang. Dasar manusia. Sikap ini jika tidak segera diatasi maka akan
berdampak dalam relasi kita dengan orang lain. Kita merasa gaya hidup kita yang
paling benar. Maka ketika ada orang yang tidak berlaku demikian, mereka
bersalah di mata kita. Akhirnya kita tidak beda dengan warga yang ingin
merajam perempuan yang berzinah itu. Yesus mengetuk hatimu: siapa yang tidak
pernah berbuat dosa silakan melempar batu pertama kali. Apakah kita bisa memastikan
dan menggaransi ini? Sela.
Hal berikutnya yang tidak disadari adalah kita akhirnya
menjadi manusia yang kekurangan sukacita. Kita menjadi orang dengan semua
keluhan, gerutu, rasa marah, rasa tidak puas, rasa sedih dan lain lain. Melihat
dunia terlalu buruk untuk ditinggali. Parahnya, tidak bisa melihat ada
pengharapan akan perubahan saat kita melayani orang lain. Hal ini dapat
menghambat terutama dalam pelayanan misi. Kita menjadi pesimis dan menyerah! Ups,
kaca besar saya taruh di depan saya sekarang.
Yah saya hampir menyerah dengan semuanya. Saya berada dalam bifurcatio iman
(bifurcatio= persimpangan). Lagi-lagi karena saya menaruh ekspektasi yang
terlalu besar. Padahal Allah juga mau saya bertumbuh dalam perjalanan ini. Ketika
tulisan ini dibuat saya bersyukur, Tuhan telah melayani saya, Dia berkata:
tidak semua salahmu, tidak semua harus diselesaikan sekarang, kemiskinan akan
selalu ada padamu, belajarlah menikmati kehadiranKu walau itu seperti angin
sepoi-sepoi. Saya sadar saya telah bersalah. Tapi saya memuji Allah karena Dia
tidak selesai dengan saya. Dia terus memberi pengajaranNya tiap hari. SapaanNya
akhirnya memperbaharui belas kasihan saya. Untuk dunia yang rusak ini, belas
kasihan itu akan terus ada, tidak pernah hilang. Ini harusnya menjadi sumber
tenaga terbesar bagi kita untuk terus bergerak. Mungkin hari ini tindakan kita
dianggap aneh, tidak berguna, tapi ketika kita merendahkan diri, menaruh diri
kita di belakang salib itu, mempersilakan Roh Kudus bekerja juga, saya percaya
suatu saat itu akan berbuah. Toh tolak ukur keberhasilan kita bukan kuantitas,
tapi seberapa besar ketaatan kita kepadaNya, akankah kita kecewa kepadaNya
untuk hal-hal buruk yang terjadi? Pada akhirnya sukacita itu muncul bukan karena
situasi, tapi karena kebenaran Allah.
Belas kasihan yang akhirnya meluap dari hati, akhirnya
memunculkan sukacita melayani dan bekerja. Rintangan seperti apa direngkuh
dalam pengandalkan akan Tuhan. Bekerja dengan mengikuti aturan itu muncul karena
kasih kita kepada Allah bukan karena ketakutan. Bukan merasa itu tuntutan. Bukan
lagi menjadi alasan kita tidak bersukacita. Kita bekerja dalam perspektif iman
dan pola pikir yang baru. Hal-hal besar pasti dapat diraih. Akhirnya kalimat “nothing
is impossilble with God” itu benar. Dengan hasil sesuai kehendakNya. Kegundahan
dalam hidup terjawab, terutama jika kita berada dalam bifurcatio iman. Hidup tanpa
beban (yang kita buat sendiri) ternyata memang lebih nyaman. Aaahh… Terpujilah
Tuhan.
Pada akhirnya, belas kasihan itu dapat kita salurkan jika
cangkir kita penuh terlebih dahulu. Belas kasihan itu memampukan kita tetap
setia. Belas kasihan itu jawaban atas bifurcatio hidup. Belas kasihan menolong
kita mengenal dan mengasihi Allah dan sesama. Kerendahan hati mengawali
pengalaman akan belas kasihan itu. Kiranya sekolah hidup ini semakin menarik
untuk dijalani bersama Allah dan orang percaya lainnya. Tuhan memberkati.