Senin, April 14, 2025

Belas Kasihan

dr. Prasarita Esti Pudyaningrum

Hidup di dunia penuh tuntutan, target tinggi, dan penuh dengan ekspektasi melampaui batas dari orang lain itu memang melelahkan. Hal-hal seperti ini biasanya banyak terjadi di dunia kerja. Gaji tidak seberapa tapi tuntutannya besar sekali. Kadang sudah dapat gaji sesuai tapi juga masih mengeluh. Padahal ada banyak orang di luar sana yang sulit sekali dapat pekerjaan, ups.

Kadang saking burn out nya, akhirnya kita tanpa sadar juga menjadi orang yang mudah sekali menuntut orang lain, menaruh target tinggi, yang parah juga mudah sekali akhirnya melihat kekurangan dan kesalahan orang lain, padahal dirinya sendiri juga banyak salah. Kesalahan kecil akhirnya dapat memicu konflik, hati yang biasanya lapang jadi mudah tersakiti. Tidak sadar bahwa itu berasal dari hati yang lelah dan mungkin terluka. Akhirnya kita melupakan yang namanya belas kasihan. Entah yang butuh belas kasihan itu orang lain atau diri sendiri, yang pasti kita lupa dengan yang namanya belas kasihan. Melupakan hal ini kadang dapat memanipulasi hati dan memunculkan sikap menjebak orang lain untuk berbuat salah lalu memblow up kesalahan tersebut. Padahal mungkin akarnya hanya karena tidak terima dan tidak nyaman dengan situasi yang penuh tuntutan. Am I wrong? Sela.

Jika ditarik ke belakang, sulit sekali memberikan belas kasihan kepada orang lain, apakah karena kita belum mengalami belas kasihan dari Allah? Apakah besarnya kasih Allah itu tidak terasa nyata dalam hidup kita? Apakah kita juga kurang menyadari bahwa keberadaan diri kita tidak lebih baik dari orang lain?

Sebagai manusia kita diajar untuk mengasihi Allah dan manusia. Tertulis jelas dalam 2 perintah utama. Tapi bagaimana kita bisa mengasihi Allah jika kita tidak mengerti sebesar apa kasih Allah bagi kita?  Kesalahan terbesar kita kadang berfokus dengan pertanyaan sudah cukupkah saya mengasihi Allah? Padahal ada pertanyaan “sudah mengertikah saya akan besarnya kasih Allah bagi saya?” yang lebih perlu kita hayati. Yesus disalib seraya ingin menyampaikan pesan: Aku mengasihimu sebesar ini. Aku mati bagimu di saat engkau berdosa. Aku tidak mau kehilanganmu. Salib semahal itu, untuk hidup kita yang fragile dan fana ini, Yesus berkorban. Seringkali kegagalan kita untuk memahami besarnya kasih Allah itu menghambat kita tidak hanya untuk mengasihi Allah maupun orang lain, bahkan diri sendiri, ups. Kita juga sering mengukur kasih Allah dengan semua doa kita yang dikabulkan, lantas jika doa tidak dikabulkan Allah menjadi jahat kepada kita ko? Tanpa sadar kita pun menaruh standard sendiri tentang Allah. Kita tidak membuka diri untuk mengenal Allah yang sebenarnya, tapi mengotakkan Allah yang besar itu dalam pikiran kita yang kecil. Kita menuntut Allah memenuhi harapan kita, tapi lupa ada bagian-bagian kita harus taat. Salib hari ini mengingatkan saya untuk kembali merenungkan keberadaan Allah dan diri sendiri. Menolong untuk semakin rendah hati hari ke hari. Saya tidak selalu benar!

Hal kedua, kegagalan kita dalam mengasihi orang lain sebenarnya adalah kegagalan kita mengenal dan mengasihi diri sendiri. Natur dosa terkadang sangat merintangi cara pandang dan sikap hati kita. Awalnya kita dididik hal-hal baik yang awalnya kita tidak tahu fungsinya, tujuannya, sehingga kita menjalani didikan dalam keluhan. Akhirnya kita merasa dituntut sedemikian rupa. Kita menutup diri untuk dilayani pemulihan hati oleh Tuhan. Akhirnya sakit itu kita bawa terus dan kita lanjutkan kepada orang lain lagi. Dalam hal ini, kita menaruh besar ukuran kita kepada orang lain. Kita memaksa orang lain merasakan yang kita rasakan. Kita membuat hidup orang lain merana tapi lupa kitalah yang sebenarnya butuh pertolongan. Kita melupakan kita butuh belas kasihan itu sendiri. Kita membuat diri kita ribet sedemikian rupa dengan semua hal. Jika hari ini dtanyakan, kita sedang menyenangkan siapa, kita sedang melayani siapa? Apakah semua tuntutan itu datang dari Allah atau dari pribadi kita sendiri? Yesus pernah bilang kuk yang Kuberikan kepadamu ringan, kadang kita tambahi sendiri bebannya memang. Dasar manusia. Sikap ini jika tidak segera diatasi maka akan berdampak dalam relasi kita dengan orang lain. Kita merasa gaya hidup kita yang paling benar. Maka ketika ada orang yang tidak berlaku demikian, mereka bersalah di mata kita. Akhirnya kita tidak beda dengan warga yang ingin merajam perempuan yang berzinah itu. Yesus mengetuk hatimu: siapa yang tidak pernah berbuat dosa silakan melempar batu pertama kali. Apakah kita bisa memastikan dan menggaransi ini? Sela.

Hal berikutnya yang tidak disadari adalah kita akhirnya menjadi manusia yang kekurangan sukacita. Kita menjadi orang dengan semua keluhan, gerutu, rasa marah, rasa tidak puas, rasa sedih dan lain lain. Melihat dunia terlalu buruk untuk ditinggali. Parahnya, tidak bisa melihat ada pengharapan akan perubahan saat kita melayani orang lain. Hal ini dapat menghambat terutama dalam pelayanan misi. Kita menjadi pesimis dan menyerah! Ups, kaca besar saya taruh di depan saya sekarang.  Yah saya hampir menyerah dengan semuanya. Saya berada dalam bifurcatio iman (bifurcatio= persimpangan). Lagi-lagi karena saya menaruh ekspektasi yang terlalu besar. Padahal Allah juga mau saya bertumbuh dalam perjalanan ini. Ketika tulisan ini dibuat saya bersyukur, Tuhan telah melayani saya, Dia berkata: tidak semua salahmu, tidak semua harus diselesaikan sekarang, kemiskinan akan selalu ada padamu, belajarlah menikmati kehadiranKu walau itu seperti angin sepoi-sepoi. Saya sadar saya telah bersalah. Tapi saya memuji Allah karena Dia tidak selesai dengan saya. Dia terus memberi pengajaranNya tiap hari. SapaanNya akhirnya memperbaharui belas kasihan saya. Untuk dunia yang rusak ini, belas kasihan itu akan terus ada, tidak pernah hilang. Ini harusnya menjadi sumber tenaga terbesar bagi kita untuk terus bergerak. Mungkin hari ini tindakan kita dianggap aneh, tidak berguna, tapi ketika kita merendahkan diri, menaruh diri kita di belakang salib itu, mempersilakan Roh Kudus bekerja juga, saya percaya suatu saat itu akan berbuah. Toh tolak ukur keberhasilan kita bukan kuantitas, tapi seberapa besar ketaatan kita kepadaNya, akankah kita kecewa kepadaNya untuk hal-hal buruk yang terjadi? Pada akhirnya sukacita itu muncul bukan karena situasi, tapi karena kebenaran Allah.

Belas kasihan yang akhirnya meluap dari hati, akhirnya memunculkan sukacita melayani dan bekerja. Rintangan seperti apa direngkuh dalam pengandalkan akan Tuhan. Bekerja dengan mengikuti aturan itu muncul karena kasih kita kepada Allah bukan karena ketakutan. Bukan merasa itu tuntutan. Bukan lagi menjadi alasan kita tidak bersukacita. Kita bekerja dalam perspektif iman dan pola pikir yang baru. Hal-hal besar pasti dapat diraih. Akhirnya kalimat “nothing is impossilble with God” itu benar. Dengan hasil sesuai kehendakNya. Kegundahan dalam hidup terjawab, terutama jika kita berada dalam bifurcatio iman. Hidup tanpa beban (yang kita buat sendiri) ternyata memang lebih nyaman. Aaahh… Terpujilah Tuhan.

Pada akhirnya, belas kasihan itu dapat kita salurkan jika cangkir kita penuh terlebih dahulu. Belas kasihan itu memampukan kita tetap setia. Belas kasihan itu jawaban atas bifurcatio hidup. Belas kasihan menolong kita mengenal dan mengasihi Allah dan sesama. Kerendahan hati mengawali pengalaman akan belas kasihan itu. Kiranya sekolah hidup ini semakin menarik untuk dijalani bersama Allah dan orang percaya lainnya. Tuhan memberkati.

Belas Kasihan

dr. Prasarita Esti Pudyaningrum Hidup di dunia penuh tuntutan, target tinggi, dan penuh dengan ekspektasi melampaui batas dari orang lain ...