Non-Absorbable, Sebuah Renungan melalui Konflik

 


Sudah tujuh bulan saya tinggal di Tanah Timor. Ada satu anak laki-laki Silu yang tinggal dengan kami di rumah. Hampir tiap hari saya mengomel karena hal-hal yang sama. Hal-hal itu seperti berbohong atau tidak izin saat akan pakai motor suami. Saya mengomel terus tapi dilakukan terus juga. Lalu satu hari suami saya yang mengomel, dan saya perhatikan muka anak ini. Dia seperti acuh tidak mau dengar. Mengelus dada! Saya cuma bisa mengelus dada. Pantas saja dia selalu melakukan kesalahan yang itu itu lagi karena dia tidak pernah mendengarkan ketika ditegur.

Lalu saya teringat saat masih kuliah. Saya ada dalam sebuah persekutuan mahasiswa. Kami membahas tentang menegur dalam kasih. Baru selesai dibahas, lalu ada satu teman menegur dengan emosi dan kami melihat tidak dengan kasih. Spontan kawan saya nyeletuk, “Barusan juga dibahas, sabar-sabar..” Sering juga itu saya! Tuhan berkali-kali menyampaikan sesuatu tapi kita acuh. Tidak mendengarkan dengan seksama, tidak bersikap rendah hati, akhirnya teguran atau ajaran apapun lewat alih-alih terserap dalam hati dan bermanifestasi dalam tindakan yang diperbaharui dalam kebenaran, malah terpental.

Dalam sebuah konflik di sebuah keluarga, persekutuan, organisasi, pasti ada kala proses rekonsiliasi berjalan alot. Bukan karena yang bersangkutan tidak mau berdamai. Tapi karena ada hal-hal yang perlu direnungkan dan diendapkan dalam hati masing-masing. Seseorang kadang perlu melalui sebuah fase denial, marah, tawar menawar, depresi dan kemudian bisa menerima.

Dalam fase denial, seseorang akan berusaha sekuat tenaga akan memberi pembelaannya. Dia berusaha menyampaikan dia tidak bersalah, itu bukan aku tapi dia! Dalam setiap konflik pasti semuanya salah, semua ada andil. Bahkan saya dengan anak Silu ini, saya juga ada salahnya. Semua orang akan diajak untuk melihat bahwa kita benar, dan yang salah dia. Jika tidak hati-hati mulut kita akan berdosa dan menimbulkan Gospel (Gosip Pelayanan) yang akan sangat mudah dipercaya bahkan bisa menimbulkan dosa komunal. Saya belajar diam, walau dalam hati sangat berkecamuk.

Seru memang melalui konflik ini, setelah bisa punya banyak waktu merenung, maka kita akan marah. Fase berikutnya karena kita mulai ditegur, diingatkan dan tidak terima. Tapi begitupun kita perlu melaluinya dalam kekuatan Ilahi. Fase ini harus lewat supaya kita bisa sampai di fase tawar menawar. Kita mulai bisa melihat kita bersalah, dan mulai bersiap untuk dengan gentle menerima konsekuensi dari kesalahan bahkan kebodohan kita. Makin seru lagi karena kemudian kita menjadi depresi! Kita melihat kita bersalah sebegitu dahsyat. Dan ya, kita layak dihukum! Dalam fase ini jika kita lupa bahwa Allah Maha Pengampun, maka kita dapat menjadi pribadi yang terhilang. Pilihan untuk kita ada dua: bertobat atau makin bebal. Ketika kita memilih bertobat, maka kita sampai di fase terakhir menerima dalam segala anugrah Tuhan. Percayalah jika kita bertobat, kita akan mengalami pulihnya Persekutuan kita dengan Allah dan sesama. Orang-orang yang kita anggap musuh di fase awal, seketika kita akan melihat mereka jugalah yang mengasihi kita dengan sebegitu rupa dan bisa menerima kita kembali, apa adanya!

Allah memproses saya dengan sangat dahsyat akhir-akhir ini. Sebuah istilah “Diam bukan berarti tidak melakukan sesuatu” itu benar. Allah terkesan diam bagi saya. Dia terasa jauh. Tapi ternyata Dia bekerja. Saat saya mempertanyakan, Tuhan Engkau dimana, sebenarnya Dia duduk di sebelah saya, memeluk saya. Akhir-akhir ini baru saya menyadarinya. Dia mengajar “Diam Ta, badai itu sudah berhenti Aku di sini, tapi kalau kamu tidak menenangkan dirimu, siapa lagi yg akan bantu?” Yaa, saya belajar memakai kehendak bebas itu untuk diam dan menenangkan diri. Di saat itu, hati dan otak ini bisa menjadi seperti spons yang bisa menyerap semua Firman yang saya dengar.

Ketika kita belum mau diproses maka kita akan sulit mendengarkan kehendakNya. Kita akan sulit berubah apalagi melihat kesalahan kita, bisa dibilang impossible. Tapi ketika kita memutuskan merendahkan hati di bawah Salib Kristus, mau disalahkan bahkan siap menerima segala hukuman atas tindakan kita, Anugrah itu bekerja. Dengan Ajaib Roh Kudus terasa sengatNya. Kita yang sebentar lagi masuk dalam jurang kepahitan, seperti ditahan Tuhan untuk selamat. Tangan kita seperti ditarik sekuat tenaga untuk tidak terjun ke dalamnya. Inipun juga anugrah Tuhan. Dalam segala kemarahan, tangisan dan hancur hati, Dia menegur dengan keras melalui FirmanNya, melalui sesama, melalui alam itupun anugrah Tuhan.

Sikap acuh itu kemudian diubah Tuhan. Telinga yang tidak bisa mendengar akhirnya bisa memperhatikan dengan seksama. Hati yang keras akhirnya dilembutkan. Tanah berbatu itu akhirnya menjadi subur. Benih yang ditaburkan akhirnya tumbuh dengan baik. Firman Tuhan akhirnya bisa diserap dengan baik, berakar, bertumbuh dan berbuah.

Sebuah lirik pujian berbahasa Inggris menyapa saya, “Will you love the ‘you’ you hide, if I but call your name?” Mengikut Kristus memiliki konsekuensi ini. Penyangkalan diri seumur hidup! Jika hari ini berhasil menyangkali diri, tenang, besok akan mengalami lagi. HAHAHA! Karena ini proses seumur hidup. Dia makin besar, kita makin kecil.

Apalah kita ini, hanya seperti ombak di tepi pantai, seperti asap yang sekarang ada lalu kemudian lenyap. Walau begitu, Allah terlalu mengasihi kita, Dia relakan anakNya yang Tunggal untuk menebus dosa kita. Masih layakkah kita bertindak seperti Tuhan kepadaNya? Masih layakkah kita menganggap diri kita tidak bersalah padahal sangat tidak kebal dosa? Dalam segala kerapuhan, Allah merengkuh dengan indah, Dia memperdamaikan segala sesuatu. Mari belajar berdamai juga, dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan alam ini. Tuhan pasti akan menolong! (ti)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup di Dunia Transaksional

Penghiburan part 1

Keguguran