Keguguran

 

Kebahagiaan dan kedukaan hadir mewarnai hidup untuk lebih dalam mengenal Sang Pelukis Semesta. Satu tahun menikah, Tuhan mengizinkan akhirnya dua garis test kehamilan sebagai kado dalam pernikahan kami. Sebagai manusia kami benar-benar bersyukur karena akhirnya Tuhan menganugrahkan jawaban doa kami. Kabar kehamilan hadir setelah perjuangan melawan covid. Saat itu benar-benar menghibur hati kami setelah melalui banyak pergumulan. Kabar ini sungguh membahagiakan karena akhirnya Tuhan membuka rahim saya.

Pada waktu itu kami melihat ini benar-benar anugrah dari Tuhan. Kami melihat Tuhan adalah Tuhan yang mendengar doa kami. Masih teringat dalam doa malam waktu itu, “Tuhan, anak ini milikMu, pada waktuMu panggillah dia menjadi hambaMu yang taat mengerjakan panggilanMu.” Tidak disangka, pada kehamilan usia genap delapan minggu, Tuhan izinkan buah hati kami diambil Tuhan. Tuhan panggil dia, bukan untuk terus berkembang dan tumbuh besar mengerjakan panggilanNya suatu hari nanti, tapi dipanggil pulang. Ternyata kehendakNya atas anak ini berbeda dari yang kami doakan.

Dalam keadaan payah, sakit dan berjuang bangkit, kami belajar bersyukur dan terus mencari Tuhan dalam masalah ini. Tuhan apa yang Engkau ingin sampaikan melalui kejadian ini? Adakah kesalahan yang kami buat? Adakah hal yang ingin Kau ubahkan dari kejadian ini?

Dalam masa berkabung, Allah berbicara dengan jelas melalui kitab Amos.”“Sekalipun Aku ini telah memberi kepadamu gigi yang tidak disentuh makanan di segala kotamu dan kekurangan roti di segala tempat kediamanmu, namun kamu tidak berbalik kepadaKu,” demikianlah firman Tuhan. “Aku pun telah menahan hujan dari padamu, ketika tiga bulan lagi sebelum panen; Aku menurunkan hujan ke atas kota yang satu dan tidak menurunkan hujan ke atas kota yang lain; ladang yang satu kehujanan dan ladang yang tidak kena hujan, menjadi kering; penduduk dua tiga kota pergi terhuyung huyung ke satu kota untuk minum air, tetapi mereka tidak menjadi puas; namun kamu tidak berbalik kepadaKu,” demikianlah firman Tuhan.” Bukannya marah, karena Tuhan memberi jawaban tegas dan jelas seperti ini, respon kali itu sungguh membahagiakan. Kami berbulan-bulan sejak awal menikah bergumul kapan waktu terbaik untuk satu kota, hidup satu atap dan satu tanah untuk dipijak. Firman ini menguatkan inilah saatnya. Kami sungguh menanti-nantikan waktu Tuhan. Ternyata Tuhan memakai keguguran, masa-masa sulit sebelum ini lainnya, untuk meyakinkan orang tua dan banyak rekan kerja yang tidak rela ditinggal.

Bagaimana tidak, orang tua mana yang tidak akan terguncang ketika akan ditinggal anak yang selama ini dibesarkan. Bagaimana tidak, rekan kerja mana yang tidak terima karena orang yang selama ini sendika dhawuh (taat sepenuhnya) mau mengerjakan semua hal lalu harus pergi meninggalkan pekerjaan esensial yang banyak sekali. Dalam kesedihan kami, Allah menghibur kami dengan memperlihatkan bahwa Dia sungguh mengerti kesulitan yang kami alami dan kerindukan hati yang kami inginkan. Dia juga Allah yang mengenal lingkungan kami, yang cukup keras hati dan membutuhkan alasan kuat untuk sebuah keputusan besar (baca meninggalkan kota Semarang dan mereka). Mereka adalah orang-orang yang tidak menerima alasan “ini adalah kehendak Tuhan” atau “jawaban Tuhan untuk pergumulan kami adalah ini”. Mungkin orang tua tidak separah ini. Tapi Tuhan lebih tahu kondisi tempat kerja.

Hari itu, Allah benar benar memberi jawaban tidak hanya untuk kami, tapi juga untuk semua orang di sekitar kami. Kami sungguh melihat Dia adalah Allah penguasa semesta. Dia tidak perlu menjawab dengan banyak kalimat. Hari itu hanya dari tiga ayat, Dia menjawab telak kepada semua pihak dalam pergumulan ini. Keluarga maupun kolega semua sejak awal juga mengerti bahwa kami harus hidup sekota, hanya seperti tidak kuasa untuk mempercayai Allah untuk kehidupan kami setelah pindah. Seketika, kesedihan akan keguguran, diubahkan Tuhan menjadi sebuah kekuatan bagi kami. Yeay, sebentar lagi kami akan serumah!

Melalui peristiwa ini, kami belajar, Allah mengenal kami dan seluruh orang di sekitar kami. Awalnya kami khawatir akan keputusan besar ini, bagaimana memberanikan diri membuat keputusan besar tapi semua orang dalam lingkar terdekat kami mengerti dan menerima dengan lapang dada dan bahkan mendukung kami. Kami bisa saja koboy-koboyan langsung berkeputusan untuk pergi, tapi Tuhan mengajar hal yang bernama kebijaksanaan. Kami tetap pergi tapi dalam kondisi sukacita dan semua orang melihat dengan jelas bahwa ini keputusan Tuhan. Hari ini pada akhirnya kami bersyukur karena melihat mereka mengakui ada Tuhan yang mengatur hidup kami, paling tidak itu, walau beberapa kolega belum bisa terima.

Hal kedua, Tuhan memakai semua peristiwa pahit dalam hidup untuk menyatakan pada banyak orang bahwa Tuhan menegur untuk kembali bersekutu dan hanya menaati perintahNya. Sejak awal tidak ada keinginan untuk tidak taat mengabdi di Tana Timor, tapi melalui Firman Tuhan ini sekitar kami kembali melihat bahwa keputusan kami semata-mata hanya menuruti perintah Tuhan. Hidup adalah anugrah, keluarga adalah anugrah, begitu juga dengan pekerjaan, semua semata-mata anugrah. Di sisi lain, Tuhan juga berkuasa memberi, juga berkuasa mengambil. Allah menggelar sebuah pelajaran, apapun pemberian Tuhan, kehendakNya adalah menaati perintahNya. Kali ini Tuhan mengizinkan kehilangan untuk mencelikkan bahwa ada perintah yang harus segera kami kerjakan. Kami bersyukur bahwa Tuhan tidak hanya berbicara kepada kami, tapi juga kepada banyak orang.

Terakhir, kami melihat, kami bersukacita! Tiga ayat ini menghadirkan keyakinan kepada keluarga (terutama) yang sekaligus meneguhkan kami. Sekali lagi kami melihat, jika Tuhan sudah buka pintu, Dia akan selesaikan! Keyakinan yang kami pegang sejak berelasi sebagai kekasih hingga hari ini semua dalam kontrol pengaturan Tuhan. Anugrah dan kasihNya terus berjalan beriringan. Walau harus berputar 40 tahun di padang gurun, Bangsa Israel tetap berakhir di Tanah Kanaan. Kami tidak berharap 40 tahun, kami berharap masa penantian ini segera berakhir. Kami hanya percaya, Dia akan membawa kami ke Tanah PerjanjianNya.

Akhirnya, kembali lagi, semua adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia. Bukan kita yang menentukan hidup kita. Bahkan ketika Tuhan sudah berkehendak, bukan kita yang menentukan jalan prosesnya. Terkadang, jalan itu tidak sesuai rencana manusia. Kita tidak sedang menyombongkan diri karena mengerti kehendakNya lalu membantuNya dengan membuat rencana sendiri. Tapi kita mau sama sama percaya, Dia akan mengumpulkan serpihan hati yang patah dan memberi pengharapan baru. Yesus memang tidur saat badai, Yesus ada dalam hidup kita tapi bukan berarti tidak akan ada badai. Dan walaupun ada badai, Yesus ada dalam hidup kita. Kiranya makin hari, kita makin menjadi hamba yang sesungguhnya hambaNya. Ternyata perjalanan menyangkal diri tidak mudah yah.. Tuhan memberkati.. (JnT)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hidup di Dunia Transaksional

Penghiburan part 1