Hidup di Dunia Transaksional
Oleh dr Prasarita Esti Pudyaningrum
Siang
itu terasa berat sekali, bagaimana tidak, saya berulang tahun, tapi jaga poli
umum hanya sendiri dengan 1 perawat melayani 175 pasien dengan macam-macam
keadaan. Yah benar, hari itu sedang dilakukan pendampingan akreditasi dalam
menyiapkan akreditasi puskesmas. Kawan kawan lain hilang duduk manis menghadap
petugas yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan mendengarkan bimbingan akreditasi.
Saya bertanya dalam hati, bukankah saya juga memegang hal penting yah, bahkan
saya salah satu PJ, tapi mengapa saya seperti dianak-tirikan. Singkat cerita,
selama beberapa pendampingan saya tidak pernah mengikutinya karena harus “jaga
gawang”. Pimpinan sepertinya merasa bagian saya tidak begitu penting dalam
manajerial puskesmas, walaupun saya adalah salah satu PJ, maka tidak pernah
diikutkan rapat sampai pendampingan akreditasi. Hati kecil saya berteriak: bagaimana
jika aku keliru mengerjakan dokumen-dokumen ini? Bagaimana jika nanti salah
semua malah mempermalukan nama puskesmas? Tapi jika ikut pendampingan siapa
yang mengurus pasien? Semua pertanyaan ini berputar-putar dalam pikiran
saya. Di sisi lain, saya melihat kawan-kawan diberi waktu off tidak mengurus
pasien saat sedang mengerjakan dokumen akreditasi. Saya? Saya mengerjakannya
disela-sela pelayanan kepada pasien. Sungguh terasa tidak adil. Ketika saya
menyampaikan kepada atasan mengenai kesulitan ini, jawabannya sangat sederhana,
“Yah, Anda dibayar untuk itu, kerjakan tanpa mengeluh.”
Sebuah
fenomena yang sering terjadi bukan? Ini adalah salah satu cerita dari kawan
dekat saya. Sebuah kenyataan bahwa perlakuan yang kita terima itu acapkali
berdasarkan sumbangsih apa yang kita berikan. Jika kita sudah dibayar dengan
sekian rupiah, maka diartikan kita bisa diperintah semau atasan. Kawan saya ini
kebetulan adalah orang yang menjaga integritasnya selama bekerja. Dia tidak mau
mengerjakan SPJ bayangan, dia menyampaikan pendapat dalam setiap rapat yang dia
rasa sesuai dengan prinsip kebenaran. Maka tidak heran jika dia menjadi public
enemy. Sikapnya berbeda dari pegawai lainnya. Mungkin jika dibenci kawan
sekerja dia masih santai, tapi kali ini atasannya pun tidak memyukainya. Dia
dinilai tidak sejalan dengan keinginan atasan. Maka dia tidak diikutsertakan lagi
dalam rapat-rapat inti, lha wong pembekalan akreditasi saja tidak diikutkan ya
to? Kawan ini hanya butuh mendapat penghargaan sewajarnya. Tapi semua usahanya
ditiadakan oleh atasan. Yah karena tidak bisa memenuhi “ekspektasi” atasan.
Hubungan transaksional! Kamu bisa beri saya apa, saya baru kasi kami apa. Jika
kamu tidak bisa memberikan seperti yang saya mau, ya berarti kita tidak perlu
berhubungan. Hubungan transaksional seperti kesepakatan bisnis; begitu banyak
aturan dan klausa yang harus diikuti dan jika tidak, kesepakatan batal! Kita
akhirnya terjebak dalam hubungan tidak akan mendapatkan sesuatu jika tidak
memberi.
Masalah
muncul kemudian adalah karyawan dianggap gagal memberi yang terbaik padahal
sudah melaksanakan tugas sesuai tupoksi, hanya karena tanggung jawab dengan
jumlah yang lebih banyak di luar tupoksi bahkan keahlian yang seharusnya kurang
dikerjakan dengan baik. Padahal dia sudah melakukan tupoksinya sesuai bahkan di
luar ekspektasi. Ada sisi subjektifitas. Penilaian kerja bukan lagi berdasarkan
kualitas mengerjakan tupoksi tapi karena tidak mengerjakan tugas tambahan
dengan baik. Tugas tambahan ini notabene adalah tugas atasan yang seharusnya
atasan yang mengerjakan. Yah hidup kawan saya selesai. Perasaan tidak dianggap
, disisihkan dan dibuang menggelayuti dia setiap hari.
Mendengar
ini bagaimana nurani kita? Ini hanya sekelumit kisah di dunia kerja. Tapi jika
diperhatikan, hubungan transaksional terjadi di banyak hubungan dalam
kehidupan. Orang tua sudah menyekolahkan, apa yang kau beri untuk orang tuamu? Jika
tidak “gemati” dengan papa mama, maka kasih papa mama berat sebelah. Gereja
memberikan perhatian lebih banyak kepada keluarga jemaat yang rajin pelayanan
di gereja. Apakah jemaat lain yang tidak pelayanan tidak butuh? Kemudian jika
tidak rajin, jemaat malah disalahkan makanya rajin pelayanan, padahal dia satu
satunya tulang punggung keluarga, waktunya habis untuk cari uang. Jika tidak
maka adik-adiknya tidak sekolah dan pengobatan orang tuanya tidak maksimal. Kemudian
Yesus berdiri melihat dunia yang dijadikanNya berjalan seperti ini.
Malam
itu di Getsemani, Yesus berdoa kepada Bapa untuk ambil saja cawan ini. Saya
membayangkan diri saya menjadi Yesus, Tuhan aku akan korbankan semuanya. Aku
akan dikhianati muridku, difitnah oleh bangsaku sendiri, bahkan dibunuh dengan
disiksa dahulu. Demi mereka! Tak heran jika Yesus berdoa ambil saja cawan ini.
Jika Yesus bersikap transaksional, sudah selesai kita semua. Aku mati di kayu
salib untukmu, apa balasmu? Harus yang setimpal yah. Mahal lo darahKu? Kalau
tidak bisa, ke neraka saja ya. Tapi doa Yesus tidak berhenti, masih ada
sambungannya, tapi jika ini kehendak Tuhan biarlah terjadi seturut dengan
kehendakNya.
Demonstrasi
kasih terakbar yang pernah ada di dunia dan tidak akan pernah ada lagi. Contoh
jelas bagi semua umat kristiani bagaimana untuk hidup beragama dan berelasi.
Kasih tanpa syarat bukan terjebak dalam hubungan transaksional. Mungkin kita
sudah melakukan dalam relasi kita dengan orang lain. Menariknya adalah, bagaimana
kasih itu tetap menjadi kasih ketika kita yang menjadi obyek dari hubungan
transaksional itu? Masih bisa kah kita mengatakan aku mengasihi orang yang
menganiayaku?
Jatuh
bangun kawan dekat saya ini berjuang tiap hari untuk berangkat ke kantor. Saya
tahu betul dia setiap hari berjuang berangkat. Detik-detik akhir masa
pengabdiannya segera tiba, kami mengira dia akan mengambil cuti besar, seperti
kawan dokter lainnya. Tiga bulan sebelum pensiun dia sudah off tidak bekerja
lagi. Tapi kawan ini menyelesaikan tugas hingga akhir, walaupun sekali lagi
tugas terakhirnya tidak disukai atasan karena menampilkan dirinya. Atasan
meminta keberadaannya dihapus saja. Sampai akhir masa bakti dia tetap memberi
yang terbaik walaupun diperlakukan seperti itu. Saya sungguh melihat sebuah
praktek hidup yang berbicara dahsyat menegur saya. Kebetulan kawan saya dan
atasannya juga Nasrani.
Hidup
tetap menyatakan kasih tanpa syarat dalam keadaan tidak pernah menerima imbalan
pantas dari kerja kerasnya, mengajar saya bahwa kita semua selalu punya
pilihan. Apalagi tetap mengerjakannya dengan terus melawan arus dunia akan
terasa semakin sulit. Mengasihi orang yang jelas-jelas berbeda prinsip,
mengasihi orang yang menyakiti, mengatakan kebenaran kepada mereka yang sudah
tahu tapi tidak melakukannya, membawa suasana kerja yang berbeda. Oh jadi ini
yang dikatakan menjadi garam yah. Jika kawan saya ini kemudian menjadi sama
seperti mereka, mungkin itu istilahnya garam yang menjadi tawar.
Dunia
transaksional ini perlu digarami! Kita dipanggil untuk berbeda, menjadi terang
dan garam bagi dunia yang transaksional. Minimal ada dua yang bisa kita
lakukan. Kita tidak perlu harus selalu menerima apa yang kita tabur. Malah
seringkali mendapat perlakuan tidak seperti yang seharusnya kita dapatkan. Tapi
bukan berarti kemudian kita berhenti berbuat baik. Bukan berarti orang baik
akan selalu mendapatkan yang terbaik. Dan bukan berarti orang baik tidak bisa
mengalami hal buruk. Lantas jika mengalami hal buruk, berarti dia bukan orang
baik? Kadang pemakaian kata karma memang harus berhati-hati. Karena hal-hal buruk
kadang terjadi untuk menjadi pelajaran hidup.
Lalu,
kita masih harus terus memilih untuk mengerjakan yang terbaik, sesuai firman
Tuhan sampai akhir. Bisa kita berdoa Tuhan ambillah cawan ini daripadaku. Tapi
seringkali kita memang harus meminumnya. Ketaatan sampai akhir dari Yesus harus
menjadi contoh dalam kita bersikap. Kita tidak akan pernah bisa membalas
kebaikan Tuhan. Ketika kita melakukan “meminum cawan kita sampai habis” pun
tidak akan pernah bisa membalas kasih Tuhan. Justru Tuhan berbicara, nak Aku
tahu hidup berat dan sulit, Aku sudah melaluinya, mari ikutlah teladanKu.
Seketika beban berat dalam hati menghilang Bersama air mata yang mengalir.
Kasih tanpa syarat menyentuh hati kita. Menguatkan langkah untuk memberikan
kasih tanpa syarat kepada sesama. Detik itu, saya belajar, kejadian buruk dapat
menimpa kita karena ada keakuan besar yang sedang dikikis Tuhan. Keakuan untuk kesenangan
pribadi. Keakuan untuk diterima. Keakuan untuk dianggap. Keakuan ini bak
dinding yang dihancurkan oleh kasih Ilahi. Maka saat keakuan itu hilang, kita
bisa taat sampai akhir, seperti kawan ini. Semakin nampaklah betapa kecilnya
kita, dan betapa besarnya Tuhan. Dan kita dimampukan untuk mengerjakan extra miles.
Tapi bukan extra miles manusia lagi, tapi extra miles standard Ilahi. Bahkan
akan dengan mudah kita mengasihi musuh kita!
Akhir
dari perenungan ini, kasih Kristus memang jawaban atas segala permasalahan di
dunia, terutama dunia transaksional ini. Dunia tidak mengerti konsep kasih
tanpa syarat. Semoga kita tidak terjebak dalam prakteknya. Apalagi menjadi
aktor transaksional dalam bentuk apapun. Biarlah kasih Kristus yang menerangi
setiap motivasi kita. Kasih Kristus memampukan kita merengkuh sesama dalam
segala keterbatasannya. Tidak menerapkan double standard dan belajar tidak
menerima hak yang mungkin seharusnya kita terima. Tuhan Yesus memberkati! (t)
Komentar