Senin, April 14, 2025

Belas Kasihan

dr. Prasarita Esti Pudyaningrum

Hidup di dunia penuh tuntutan, target tinggi, dan penuh dengan ekspektasi melampaui batas dari orang lain itu memang melelahkan. Hal-hal seperti ini biasanya banyak terjadi di dunia kerja. Gaji tidak seberapa tapi tuntutannya besar sekali. Kadang sudah dapat gaji sesuai tapi juga masih mengeluh. Padahal ada banyak orang di luar sana yang sulit sekali dapat pekerjaan, ups.

Kadang saking burn out nya, akhirnya kita tanpa sadar juga menjadi orang yang mudah sekali menuntut orang lain, menaruh target tinggi, yang parah juga mudah sekali akhirnya melihat kekurangan dan kesalahan orang lain, padahal dirinya sendiri juga banyak salah. Kesalahan kecil akhirnya dapat memicu konflik, hati yang biasanya lapang jadi mudah tersakiti. Tidak sadar bahwa itu berasal dari hati yang lelah dan mungkin terluka. Akhirnya kita melupakan yang namanya belas kasihan. Entah yang butuh belas kasihan itu orang lain atau diri sendiri, yang pasti kita lupa dengan yang namanya belas kasihan. Melupakan hal ini kadang dapat memanipulasi hati dan memunculkan sikap menjebak orang lain untuk berbuat salah lalu memblow up kesalahan tersebut. Padahal mungkin akarnya hanya karena tidak terima dan tidak nyaman dengan situasi yang penuh tuntutan. Am I wrong? Sela.

Jika ditarik ke belakang, sulit sekali memberikan belas kasihan kepada orang lain, apakah karena kita belum mengalami belas kasihan dari Allah? Apakah besarnya kasih Allah itu tidak terasa nyata dalam hidup kita? Apakah kita juga kurang menyadari bahwa keberadaan diri kita tidak lebih baik dari orang lain?

Sebagai manusia kita diajar untuk mengasihi Allah dan manusia. Tertulis jelas dalam 2 perintah utama. Tapi bagaimana kita bisa mengasihi Allah jika kita tidak mengerti sebesar apa kasih Allah bagi kita?  Kesalahan terbesar kita kadang berfokus dengan pertanyaan sudah cukupkah saya mengasihi Allah? Padahal ada pertanyaan “sudah mengertikah saya akan besarnya kasih Allah bagi saya?” yang lebih perlu kita hayati. Yesus disalib seraya ingin menyampaikan pesan: Aku mengasihimu sebesar ini. Aku mati bagimu di saat engkau berdosa. Aku tidak mau kehilanganmu. Salib semahal itu, untuk hidup kita yang fragile dan fana ini, Yesus berkorban. Seringkali kegagalan kita untuk memahami besarnya kasih Allah itu menghambat kita tidak hanya untuk mengasihi Allah maupun orang lain, bahkan diri sendiri, ups. Kita juga sering mengukur kasih Allah dengan semua doa kita yang dikabulkan, lantas jika doa tidak dikabulkan Allah menjadi jahat kepada kita ko? Tanpa sadar kita pun menaruh standard sendiri tentang Allah. Kita tidak membuka diri untuk mengenal Allah yang sebenarnya, tapi mengotakkan Allah yang besar itu dalam pikiran kita yang kecil. Kita menuntut Allah memenuhi harapan kita, tapi lupa ada bagian-bagian kita harus taat. Salib hari ini mengingatkan saya untuk kembali merenungkan keberadaan Allah dan diri sendiri. Menolong untuk semakin rendah hati hari ke hari. Saya tidak selalu benar!

Hal kedua, kegagalan kita dalam mengasihi orang lain sebenarnya adalah kegagalan kita mengenal dan mengasihi diri sendiri. Natur dosa terkadang sangat merintangi cara pandang dan sikap hati kita. Awalnya kita dididik hal-hal baik yang awalnya kita tidak tahu fungsinya, tujuannya, sehingga kita menjalani didikan dalam keluhan. Akhirnya kita merasa dituntut sedemikian rupa. Kita menutup diri untuk dilayani pemulihan hati oleh Tuhan. Akhirnya sakit itu kita bawa terus dan kita lanjutkan kepada orang lain lagi. Dalam hal ini, kita menaruh besar ukuran kita kepada orang lain. Kita memaksa orang lain merasakan yang kita rasakan. Kita membuat hidup orang lain merana tapi lupa kitalah yang sebenarnya butuh pertolongan. Kita melupakan kita butuh belas kasihan itu sendiri. Kita membuat diri kita ribet sedemikian rupa dengan semua hal. Jika hari ini dtanyakan, kita sedang menyenangkan siapa, kita sedang melayani siapa? Apakah semua tuntutan itu datang dari Allah atau dari pribadi kita sendiri? Yesus pernah bilang kuk yang Kuberikan kepadamu ringan, kadang kita tambahi sendiri bebannya memang. Dasar manusia. Sikap ini jika tidak segera diatasi maka akan berdampak dalam relasi kita dengan orang lain. Kita merasa gaya hidup kita yang paling benar. Maka ketika ada orang yang tidak berlaku demikian, mereka bersalah di mata kita. Akhirnya kita tidak beda dengan warga yang ingin merajam perempuan yang berzinah itu. Yesus mengetuk hatimu: siapa yang tidak pernah berbuat dosa silakan melempar batu pertama kali. Apakah kita bisa memastikan dan menggaransi ini? Sela.

Hal berikutnya yang tidak disadari adalah kita akhirnya menjadi manusia yang kekurangan sukacita. Kita menjadi orang dengan semua keluhan, gerutu, rasa marah, rasa tidak puas, rasa sedih dan lain lain. Melihat dunia terlalu buruk untuk ditinggali. Parahnya, tidak bisa melihat ada pengharapan akan perubahan saat kita melayani orang lain. Hal ini dapat menghambat terutama dalam pelayanan misi. Kita menjadi pesimis dan menyerah! Ups, kaca besar saya taruh di depan saya sekarang.  Yah saya hampir menyerah dengan semuanya. Saya berada dalam bifurcatio iman (bifurcatio= persimpangan). Lagi-lagi karena saya menaruh ekspektasi yang terlalu besar. Padahal Allah juga mau saya bertumbuh dalam perjalanan ini. Ketika tulisan ini dibuat saya bersyukur, Tuhan telah melayani saya, Dia berkata: tidak semua salahmu, tidak semua harus diselesaikan sekarang, kemiskinan akan selalu ada padamu, belajarlah menikmati kehadiranKu walau itu seperti angin sepoi-sepoi. Saya sadar saya telah bersalah. Tapi saya memuji Allah karena Dia tidak selesai dengan saya. Dia terus memberi pengajaranNya tiap hari. SapaanNya akhirnya memperbaharui belas kasihan saya. Untuk dunia yang rusak ini, belas kasihan itu akan terus ada, tidak pernah hilang. Ini harusnya menjadi sumber tenaga terbesar bagi kita untuk terus bergerak. Mungkin hari ini tindakan kita dianggap aneh, tidak berguna, tapi ketika kita merendahkan diri, menaruh diri kita di belakang salib itu, mempersilakan Roh Kudus bekerja juga, saya percaya suatu saat itu akan berbuah. Toh tolak ukur keberhasilan kita bukan kuantitas, tapi seberapa besar ketaatan kita kepadaNya, akankah kita kecewa kepadaNya untuk hal-hal buruk yang terjadi? Pada akhirnya sukacita itu muncul bukan karena situasi, tapi karena kebenaran Allah.

Belas kasihan yang akhirnya meluap dari hati, akhirnya memunculkan sukacita melayani dan bekerja. Rintangan seperti apa direngkuh dalam pengandalkan akan Tuhan. Bekerja dengan mengikuti aturan itu muncul karena kasih kita kepada Allah bukan karena ketakutan. Bukan merasa itu tuntutan. Bukan lagi menjadi alasan kita tidak bersukacita. Kita bekerja dalam perspektif iman dan pola pikir yang baru. Hal-hal besar pasti dapat diraih. Akhirnya kalimat “nothing is impossilble with God” itu benar. Dengan hasil sesuai kehendakNya. Kegundahan dalam hidup terjawab, terutama jika kita berada dalam bifurcatio iman. Hidup tanpa beban (yang kita buat sendiri) ternyata memang lebih nyaman. Aaahh… Terpujilah Tuhan.

Pada akhirnya, belas kasihan itu dapat kita salurkan jika cangkir kita penuh terlebih dahulu. Belas kasihan itu memampukan kita tetap setia. Belas kasihan itu jawaban atas bifurcatio hidup. Belas kasihan menolong kita mengenal dan mengasihi Allah dan sesama. Kerendahan hati mengawali pengalaman akan belas kasihan itu. Kiranya sekolah hidup ini semakin menarik untuk dijalani bersama Allah dan orang percaya lainnya. Tuhan memberkati.

Senin, September 23, 2024

Tuhan tidak bisa Dimanipulasi

 Tuhan tidak bisa dimanipulasi

dr. Prasarita Esti Pudyaningrum

 

Soe sedang sangat berkabut dan sering mendung akhir-akhir ini. Situasi yang sangat cocok untuk kembali tarik selimut dan memejamkan mata. Dalam mendung dan kesyahduan ini kembali Tuhan berbicara. Jujur hari ini saya masih sangat sedih karena Prosi sudah menyelesaikan kerja sama dan komitmennya di klinik. Ada banyak spekulasi dan angan-angan tak berujung tentang masa depan klinik. Semua seakan-akan membingungkan dan tanpa pengharapan. Melihat teman-teman yang lemah dan tidak berpengharapan juga terus menerus membuat saya berpikir dan berdoa, “Tuhan apa yang sedang Kau kerjakan atas kami? Tuhan, apa yang sedang ingin Tuhan ajarkan pada kami? Tuhan, kami bisa apa jika Prosi sudah tidak bersama-sama dalam perjuangan ini?” Sungguh belajar tetap menaruh iman di tangan Tuhan bukan perkara yang mudah. Karena semua yang kami lihat seakan-akan hanya jalan buntu.

Akhirnya dalam ketegasanNya dan kelembutanNya, Dia berbicara lagi-lagi Dia pakai bahan saat teduh yang sedang saya baca. Kitab Keluaran sedang saya baca sampai di titik Allah menyesal membawa Bangsa Israel keluar dari Mesir. Kita padahal sudah melihat ‘laut yang terbelah’ untuk Klinik Pratama Ume Manekan. Tapi kami juga tidak ada bedanya dengan Bangsa Israel, tetap mengeluh dan hampir-hampir tidak percaya kepada Tuhan. Bukannya memperbaiki diri, bukannya berkomitmen untuk belajar percaya kepada pemeliharaan Tuhan, tapi yang kami pikirkan hanya masalah perut kami masing-masing. Tidak ada bedanya dengan Bangsa Israel yang mengeluh “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir q  oleh tangan TUHAN ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti r  sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami keluar ke padang gurun ini untuk membunuh s  seluruh jemaah ini dengan kelaparan." Keluaran 16: 3. Keluhan-keluhan seperti ini akhirnya membawa Tuhan berkali-kali juga ingin membinasakan Bangsa Israel. Tapi Musa berdiri di tengah! Dia menjadi peloby untuk Bangsa Israel di hadapan Tuhan. Dia memohon supaya Tuhan jangan memusnahkan Bangsa Israel. Singkat cerita, mereka dibawa berputar-putar 40 tahun di padang gurun, karena Allah tidak berkenan bangsa ini masuk ke Tanah Perjanjian. Bahkan Musa saja tidak diizinkan Tuhan memasuki Tanah Perjanjian. Hanya Yosua dan Kaleb yang diizinkan memasukinya.

Hari ini dalam rintik hujan Tuhan berbicara: “Kalian mau menjadi yang mana? Bukankah selama ini kalian menjadi seperti Bangsa Israel yang layak mendapatkan padang gurun dan berputar-putar untuk 40 tahun? Atas dasar apa Aku harus membawa kalian ke Tanah Perjanjian itu?” Kita lupa kalau kita ini memang serakah. Mengingini masuk Tanah Perjanjian tapi juga bersikap seolah-olah kita dapat mengatur Tuhan untuk semua keinginan hati kita. Kita setiap hari berdoa memohonkan hal-hal berkat untuk kita tapi mempercayai caraNya saja sulit. Kita setiap hari meminta Dia menolong semua perkara hidup kita seperti mau kita, tapi untuk belajar tinggal tenang dan percaya pada ketetapanNya saja tidak mau. Sebenarnya memang kita layak untuk berputar-putar di padang gurun dan menjadi angkatan yang dihabisi oleh Tuhan sampai tidak layak masuk Tanah Perjanjian!

Dalam Alkitab sudah ditulis sebanyak 365 kali tentang jangan takut. Tapi kita selalu mengkhawatirkan dan takut akan masa depan kita. Seolah-olah kita bukan manusia berTuhan. Sebetulnya semakin kita takut, kita mengingkari keberadaan Allah dalam hidup kita. Dengan kata lain, kita sedang tidak percaya kepada Tuhan. Maka istilah ‘orang percaya’ itu tidak pantas kita pakai sebenarnya. Teguran sekeras ini, seharusnya cepat-cepat membawa kita kepada pertobatan sebelum kita benar-benar dihabisi oleh Tuhan di padang gurun. Iman yang Allah hendaki ada harus kita minta dari Tuhan. Sehingga dalam segala ketidakjelasan ini, kita harus terus memandang kepada Tuhan. Jangan kita tetap tegar tengkung dan tidak mau mendengar Tuhan. Jangan sampai kita menanggung akibat dari ketidakpercayaan, dari kekurangan iman kita, atau bahkan dari dosa yang kita tidak segera selesaikan di hadapan Tuhan. Karena pada akhirnya kita sendiri yang akan merasakan akibatnya. Dihabisi di padang gurun atau memasuki Tanah Perjanjian itu.

Semakin saya renungkan, betapa malunya kita, Tuhan sudah pernah sebaik itu kepada Klinik Pratama Ume Manekan. Tuhan bawa orang-orang dari segala penjuru negeri untuk menolong klinik dengan dahsyatnya. Tuhan mencukupkan semua yang diperlukan. Walaupun pada saat itu kehidupan yang kita terima masih jauh dari nyaman seperti sekarang. Tapi hanya ucapan syukur dan hati melayani yang kita persembahkan bagi Tuhan. Sekarang saat kondisi sudah membaik, kita berbalik dan sulit sekali berprasangka baik kepada Tuhan. Semakin dalam saya berdoa, Roh Kudus mengingatkan bagaimana Yesus ditinggalkan oleh-oleh pengikutNya karena ajaranNya yang disampaikan di Kapernaum (Yohanes 6 : 60-71). Jika kita sulit mengikuti alur kerjaNya, maka Allah mempersilakan kita untuk undur.

Yohanes 6 : 61-66 “Yesus yang di dalam hati-Nya tahu, bahwa murid-murid-Nya bersungut-sungut tentang hal itu, berkata kepada mereka: "Adakah perkataan itu menggoncangkan imanmu? r  6:62 Dan bagaimanakah, jikalau kamu melihat Anak Manusia s  naik ke tempat di mana Ia sebelumnya t  berada? 6:63 Rohlah yang memberi hidup, u  daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup. 6:64 Tetapi di antaramu ada yang tidak percaya." Sebab Yesus tahu v  dari semula 2 , siapa yang tidak percaya dan siapa yang akan menyerahkan Dia. w  6:65 Lalu Ia berkata: "Sebab itu telah Kukatakan kepadamu: Tidak ada seorangpun dapat datang kepada-Ku, kalau Bapa tidak mengaruniakannya x  kepadanya." 6:66 Mulai dari waktu itu banyak murid-murid-Nya y  mengundurkan diri dan tidak lagi mengikut Dia.”

Dengan enteng dan ringan Yesus kemudian bertanya kembali kepada kedua belas rasul “Kamu tidak pergi juga? Silakan lo kalau mau ikutan, Aku tidak masalah.”

Yohanes 6: 67 : Maka kata Yesus kepada kedua belas murid-Nya: z  "Apakah kamu tidak mau pergi juga?"

Ngakak! Respon Yesus di luar nurul, kalau kata Gen Z. Tuhan tidak butuh orang-orang yang tidak bisa mengimani setiap Firman yang Dia sampaikan. Yesus tidak butuh banyak follower. Hanya dua orang saja dari ribuan dan ratusan ribu orang yang diselamatkan dari Mesir untuk masuk ke Tanah Perjanjian. Dia tidak meregresi kualitas iman itu sampai hari ini!

 Maka dalam pergumulan di SoE yang mungkin terasa berat ini, alih-alih hanya meminta keadilan dari Tuhan tapi kita juga mengoreksi diri, apakah kita sudah memilih sikap yang benar di hadapan Tuhan? Bagaimana kebergantungan kita selama ini di hadapan Tuhan? Benar-benar bergantung atau hanya tipuan saja? Apakah selama ini kita sudah benar-benar menjaga kekudusan hidup dan memilih mengerjakan yang benar di hadapan Tuhan? Apakah kita sudah benar-benar menuhankan Tuhan semata atau jangan-jangan kita lah yang kita tuhankan? Tuhan tidak dapat kita manipulasi!

Pelayanan di SoE adalah milik Tuhan! Yayasan manapun hanya alat di tanganNya. Jadi harus kita kembalikan semua kemuliaan dan kesuksesan itu kepada Tuhan, bukan kepada oknum tertentu. Jika hal ini masih terjadi, tidak heran Dia menghempaskan kita!

Kiranya kita semakin merendahkan hati! Kiranya kita semakin dimurnikan dalam api. Kiranya kita bukan menjadi pribadi yang membawa kekacauan tapi membawa kehidupan di tengah-tengah pergumulan ini. Tuhan Yesus memberkati. (t)

Sabtu, Juni 29, 2024

WC Rusak


“Bu Dok, ini karmana 4 WC di klinik son jadi, semua son bisa dipakai BAB, WC bau, airnya naik semua..” Begitulah pagiku suatu saat, mak Lodi lapor kalau 4 WC di klinik rusak. Airnya meluap, WC jadi bau sekali. Beberapa ruangan di klinik jadi tidak biasa baunya. Teman-teman bekerja dengan tidak nyaman. Apa yang ada di dalam meluap keluar dan berdampak ke banyak orang. Saya tidak mengerti tentang WC. Akhirnya dr David pulang dari Jakarta. Dan masalah yang sama terulang lagi. Ya sudah saya pikir biar laki-laki saja yang urus. Daripada saya yang urus malah jadi masalah baru.

Lukas 6: 45 “Orang yang baik mengeluarkan barang yang baik dari perbendaharaan hatinya yang baik dan orang yang jahat mengeluarkan barang yang jahat dari perbendaharaannya yang jahat. Karena yang diucapkan mulutnya, meluap dari hatinya.” Ayat ini tiba-tiba muncul dalam pergumulan tentang WC di klinik. Beberapa kali saya saat teduh Allah berbicara jelas mengenai hal ini. Mak Lodi akhir-akhir ini sudah bekerja dengan sangat luar biasa. Semua kamar mandi di klinik dia bersihkan dengan seksama. Wangi dan lantainya tidak licin lagi. Maka ketika ada bau busuk, kami heran. Datang dari mana ya bau itu? Ternyata datang dari dalam septic tank. Apa yang di dalam jika kepenuhan pasti meluap keluar. Kebetulan ini kotoran, jadi ketika meluap pasti bau busuk.

Sebagai manusia kita harus menyadari tidak semua barang baik ada dalam hati kita. Ada juga barang yang jahat dalam hati kita. Dua barang ini bisa meluap kapan saja. Tergantung pemantiknya, atau ketika sudah meluap tidak cukuplah penampungnya, tadaaa.. inilah. Saya tidak menyangka Allah akan berbicara dan menegur saya melalui WC. Kadang-kadang Allah itu memang kidding. Hahaha. Sekarang saya berpikir bagaimana supaya membersihkan barang jahat yang ada dalam hati saya? Bagaimana saya bisa punya perbendaharaan barang baik saja dalam ahti saya? Bagaimana membersihkan barang jahat dalam hati saya? Allah pun menjawabnya melalui Mak Lodi.

Mak Lodi berangkat lebih pagi dari kami semua untuk membersihkan klinik termasuk kamar mandi. Ada usaha lebih yang dikeluarkan. Lalu dia juga meminta cairan dengan merk tertentu untuk membersihkan noda membandel. Dia juga menggosok dengan lebih kuat untuk noda-noda yang membandel. Dan untuk WC yang rusak, dia mengajukan perbaikan kepada pimpinan. “Tita, seperti itulah juga yang harus kamu lakukan. Harus usaha lebih. Ada waktu yang dikeluarkan untuk membaca Firman, ada usaha untuk memikirkan hal-hal baik, ada usaha untuk memasukkan hal-hal baik dan jika mentok mintalah bantuanKu.” Dengan lembut Dia menjawab dalam perenungan saya di ruang poli umum.

Dia menghargai setiap waktu yang kita usahakan untuk membaca Firman lebih banyak dan lebih dalam. Tuhan menghargai dan menolong kita saat kita memilih mengerjakan dan membaca hal-hal baik. Tuhan juga turun tangan saat ada hal-hal yang perlu sentuhan khususNya. Dia tahu kita tidak bisa mengerjakan hal ini sendiri. Dia tahu kita terbatas dan tidak sempurna. Dia hadir untuk mengajar, menguatkan dan membimbing. Terbukti dari perkara WC ini saya mendengar suaraNya yang lembut.

Semakin tambah usia saya, saya melihat hal-hal dasar menjadi sangat penting dan itu sebenarnya nafas hidup saya. Saat teduh memang diajarkan saat saya menjadi petobat baur. Tapi saat teduh itu sekarang benar-benar saya nantikan. Karena dengan saat teduh saya bisa mengisi hati saya dengan perbendaharaan yang baik. Firman Tuhan yang say abaca sedikit-sedikit masuk dalam memori saya dan menghapus pelan-pelan kekhawatiran, kegelisahan dan ketakutan saya.

Saya melihat, kuasa Tuhan yang besar itu dalam banyak perkara-perkara sederhana dalam hidup kami. Dari WC rusak, kuasa Tuhan terasa mengubahkan hati. Dengan mencuci piring, membersihkan rumah saya belajar ketekunan dan keteraturan Tuhan. Dengan mencuci baju, menjemur baju dan melipat pakaian saya belajar ketangguhan melawan suhu dingin, saya belajar setia dan tangguh dalam pergumulan yang sulit. Jadi saya pikir Tuhan memang menyertai dan terus berbicara. Kalau dalam pekerjaan sebagai dokter pasti, semua orang sudah sering berbagi, tapi kali ini Tuhan kuat berbicara dalam pekerjaan rumah yang sepertinya remeh.

Hari ini saya bersyukur ada WC rusak ini. (t)


Jumat, Mei 24, 2024

Non-Absorbable, Sebuah Renungan melalui Konflik

 


Sudah tujuh bulan saya tinggal di Tanah Timor. Ada satu anak laki-laki Silu yang tinggal dengan kami di rumah. Hampir tiap hari saya mengomel karena hal-hal yang sama. Hal-hal itu seperti berbohong atau tidak izin saat akan pakai motor suami. Saya mengomel terus tapi dilakukan terus juga. Lalu satu hari suami saya yang mengomel, dan saya perhatikan muka anak ini. Dia seperti acuh tidak mau dengar. Mengelus dada! Saya cuma bisa mengelus dada. Pantas saja dia selalu melakukan kesalahan yang itu itu lagi karena dia tidak pernah mendengarkan ketika ditegur.

Lalu saya teringat saat masih kuliah. Saya ada dalam sebuah persekutuan mahasiswa. Kami membahas tentang menegur dalam kasih. Baru selesai dibahas, lalu ada satu teman menegur dengan emosi dan kami melihat tidak dengan kasih. Spontan kawan saya nyeletuk, “Barusan juga dibahas, sabar-sabar..” Sering juga itu saya! Tuhan berkali-kali menyampaikan sesuatu tapi kita acuh. Tidak mendengarkan dengan seksama, tidak bersikap rendah hati, akhirnya teguran atau ajaran apapun lewat alih-alih terserap dalam hati dan bermanifestasi dalam tindakan yang diperbaharui dalam kebenaran, malah terpental.

Dalam sebuah konflik di sebuah keluarga, persekutuan, organisasi, pasti ada kala proses rekonsiliasi berjalan alot. Bukan karena yang bersangkutan tidak mau berdamai. Tapi karena ada hal-hal yang perlu direnungkan dan diendapkan dalam hati masing-masing. Seseorang kadang perlu melalui sebuah fase denial, marah, tawar menawar, depresi dan kemudian bisa menerima.

Dalam fase denial, seseorang akan berusaha sekuat tenaga akan memberi pembelaannya. Dia berusaha menyampaikan dia tidak bersalah, itu bukan aku tapi dia! Dalam setiap konflik pasti semuanya salah, semua ada andil. Bahkan saya dengan anak Silu ini, saya juga ada salahnya. Semua orang akan diajak untuk melihat bahwa kita benar, dan yang salah dia. Jika tidak hati-hati mulut kita akan berdosa dan menimbulkan Gospel (Gosip Pelayanan) yang akan sangat mudah dipercaya bahkan bisa menimbulkan dosa komunal. Saya belajar diam, walau dalam hati sangat berkecamuk.

Seru memang melalui konflik ini, setelah bisa punya banyak waktu merenung, maka kita akan marah. Fase berikutnya karena kita mulai ditegur, diingatkan dan tidak terima. Tapi begitupun kita perlu melaluinya dalam kekuatan Ilahi. Fase ini harus lewat supaya kita bisa sampai di fase tawar menawar. Kita mulai bisa melihat kita bersalah, dan mulai bersiap untuk dengan gentle menerima konsekuensi dari kesalahan bahkan kebodohan kita. Makin seru lagi karena kemudian kita menjadi depresi! Kita melihat kita bersalah sebegitu dahsyat. Dan ya, kita layak dihukum! Dalam fase ini jika kita lupa bahwa Allah Maha Pengampun, maka kita dapat menjadi pribadi yang terhilang. Pilihan untuk kita ada dua: bertobat atau makin bebal. Ketika kita memilih bertobat, maka kita sampai di fase terakhir menerima dalam segala anugrah Tuhan. Percayalah jika kita bertobat, kita akan mengalami pulihnya Persekutuan kita dengan Allah dan sesama. Orang-orang yang kita anggap musuh di fase awal, seketika kita akan melihat mereka jugalah yang mengasihi kita dengan sebegitu rupa dan bisa menerima kita kembali, apa adanya!

Allah memproses saya dengan sangat dahsyat akhir-akhir ini. Sebuah istilah “Diam bukan berarti tidak melakukan sesuatu” itu benar. Allah terkesan diam bagi saya. Dia terasa jauh. Tapi ternyata Dia bekerja. Saat saya mempertanyakan, Tuhan Engkau dimana, sebenarnya Dia duduk di sebelah saya, memeluk saya. Akhir-akhir ini baru saya menyadarinya. Dia mengajar “Diam Ta, badai itu sudah berhenti Aku di sini, tapi kalau kamu tidak menenangkan dirimu, siapa lagi yg akan bantu?” Yaa, saya belajar memakai kehendak bebas itu untuk diam dan menenangkan diri. Di saat itu, hati dan otak ini bisa menjadi seperti spons yang bisa menyerap semua Firman yang saya dengar.

Ketika kita belum mau diproses maka kita akan sulit mendengarkan kehendakNya. Kita akan sulit berubah apalagi melihat kesalahan kita, bisa dibilang impossible. Tapi ketika kita memutuskan merendahkan hati di bawah Salib Kristus, mau disalahkan bahkan siap menerima segala hukuman atas tindakan kita, Anugrah itu bekerja. Dengan Ajaib Roh Kudus terasa sengatNya. Kita yang sebentar lagi masuk dalam jurang kepahitan, seperti ditahan Tuhan untuk selamat. Tangan kita seperti ditarik sekuat tenaga untuk tidak terjun ke dalamnya. Inipun juga anugrah Tuhan. Dalam segala kemarahan, tangisan dan hancur hati, Dia menegur dengan keras melalui FirmanNya, melalui sesama, melalui alam itupun anugrah Tuhan.

Sikap acuh itu kemudian diubah Tuhan. Telinga yang tidak bisa mendengar akhirnya bisa memperhatikan dengan seksama. Hati yang keras akhirnya dilembutkan. Tanah berbatu itu akhirnya menjadi subur. Benih yang ditaburkan akhirnya tumbuh dengan baik. Firman Tuhan akhirnya bisa diserap dengan baik, berakar, bertumbuh dan berbuah.

Sebuah lirik pujian berbahasa Inggris menyapa saya, “Will you love the ‘you’ you hide, if I but call your name?” Mengikut Kristus memiliki konsekuensi ini. Penyangkalan diri seumur hidup! Jika hari ini berhasil menyangkali diri, tenang, besok akan mengalami lagi. HAHAHA! Karena ini proses seumur hidup. Dia makin besar, kita makin kecil.

Apalah kita ini, hanya seperti ombak di tepi pantai, seperti asap yang sekarang ada lalu kemudian lenyap. Walau begitu, Allah terlalu mengasihi kita, Dia relakan anakNya yang Tunggal untuk menebus dosa kita. Masih layakkah kita bertindak seperti Tuhan kepadaNya? Masih layakkah kita menganggap diri kita tidak bersalah padahal sangat tidak kebal dosa? Dalam segala kerapuhan, Allah merengkuh dengan indah, Dia memperdamaikan segala sesuatu. Mari belajar berdamai juga, dengan Allah, dengan diri sendiri, dengan sesama, dan dengan alam ini. Tuhan pasti akan menolong! (ti)

Sabtu, Juni 03, 2023

Hidup di Dunia Transaksional

 Oleh dr Prasarita Esti Pudyaningrum

Siang itu terasa berat sekali, bagaimana tidak, saya berulang tahun, tapi jaga poli umum hanya sendiri dengan 1 perawat melayani 175 pasien dengan macam-macam keadaan. Yah benar, hari itu sedang dilakukan pendampingan akreditasi dalam menyiapkan akreditasi puskesmas. Kawan kawan lain hilang duduk manis menghadap petugas yang ditunjuk oleh Dinas Kesehatan mendengarkan bimbingan akreditasi. Saya bertanya dalam hati, bukankah saya juga memegang hal penting yah, bahkan saya salah satu PJ, tapi mengapa saya seperti dianak-tirikan. Singkat cerita, selama beberapa pendampingan saya tidak pernah mengikutinya karena harus “jaga gawang”. Pimpinan sepertinya merasa bagian saya tidak begitu penting dalam manajerial puskesmas, walaupun saya adalah salah satu PJ, maka tidak pernah diikutkan rapat sampai pendampingan akreditasi. Hati kecil saya berteriak: bagaimana jika aku keliru mengerjakan dokumen-dokumen ini? Bagaimana jika nanti salah semua malah mempermalukan nama puskesmas? Tapi jika ikut pendampingan siapa yang mengurus pasien? Semua pertanyaan ini berputar-putar dalam pikiran saya. Di sisi lain, saya melihat kawan-kawan diberi waktu off tidak mengurus pasien saat sedang mengerjakan dokumen akreditasi. Saya? Saya mengerjakannya disela-sela pelayanan kepada pasien. Sungguh terasa tidak adil. Ketika saya menyampaikan kepada atasan mengenai kesulitan ini, jawabannya sangat sederhana, “Yah, Anda dibayar untuk itu, kerjakan tanpa mengeluh.”

Sebuah fenomena yang sering terjadi bukan? Ini adalah salah satu cerita dari kawan dekat saya. Sebuah kenyataan bahwa perlakuan yang kita terima itu acapkali berdasarkan sumbangsih apa yang kita berikan. Jika kita sudah dibayar dengan sekian rupiah, maka diartikan kita bisa diperintah semau atasan. Kawan saya ini kebetulan adalah orang yang menjaga integritasnya selama bekerja. Dia tidak mau mengerjakan SPJ bayangan, dia menyampaikan pendapat dalam setiap rapat yang dia rasa sesuai dengan prinsip kebenaran. Maka tidak heran jika dia menjadi public enemy. Sikapnya berbeda dari pegawai lainnya. Mungkin jika dibenci kawan sekerja dia masih santai, tapi kali ini atasannya pun tidak memyukainya. Dia dinilai tidak sejalan dengan keinginan atasan. Maka dia tidak diikutsertakan lagi dalam rapat-rapat inti, lha wong pembekalan akreditasi saja tidak diikutkan ya to? Kawan ini hanya butuh mendapat penghargaan sewajarnya. Tapi semua usahanya ditiadakan oleh atasan. Yah karena tidak bisa memenuhi “ekspektasi” atasan. Hubungan transaksional! Kamu bisa beri saya apa, saya baru kasi kami apa. Jika kamu tidak bisa memberikan seperti yang saya mau, ya berarti kita tidak perlu berhubungan. Hubungan transaksional seperti kesepakatan bisnis; begitu banyak aturan dan klausa yang harus diikuti dan jika tidak, kesepakatan batal! Kita akhirnya terjebak dalam hubungan tidak akan mendapatkan sesuatu jika tidak memberi.

Masalah muncul kemudian adalah karyawan dianggap gagal memberi yang terbaik padahal sudah melaksanakan tugas sesuai tupoksi, hanya karena tanggung jawab dengan jumlah yang lebih banyak di luar tupoksi bahkan keahlian yang seharusnya kurang dikerjakan dengan baik. Padahal dia sudah melakukan tupoksinya sesuai bahkan di luar ekspektasi. Ada sisi subjektifitas. Penilaian kerja bukan lagi berdasarkan kualitas mengerjakan tupoksi tapi karena tidak mengerjakan tugas tambahan dengan baik. Tugas tambahan ini notabene adalah tugas atasan yang seharusnya atasan yang mengerjakan. Yah hidup kawan saya selesai. Perasaan tidak dianggap , disisihkan dan dibuang menggelayuti dia setiap hari.

Mendengar ini bagaimana nurani kita? Ini hanya sekelumit kisah di dunia kerja. Tapi jika diperhatikan, hubungan transaksional terjadi di banyak hubungan dalam kehidupan. Orang tua sudah menyekolahkan, apa yang kau beri untuk orang tuamu? Jika tidak “gemati” dengan papa mama, maka kasih papa mama berat sebelah. Gereja memberikan perhatian lebih banyak kepada keluarga jemaat yang rajin pelayanan di gereja. Apakah jemaat lain yang tidak pelayanan tidak butuh? Kemudian jika tidak rajin, jemaat malah disalahkan makanya rajin pelayanan, padahal dia satu satunya tulang punggung keluarga, waktunya habis untuk cari uang. Jika tidak maka adik-adiknya tidak sekolah dan pengobatan orang tuanya tidak maksimal. Kemudian Yesus berdiri melihat dunia yang dijadikanNya berjalan seperti ini.

Malam itu di Getsemani, Yesus berdoa kepada Bapa untuk ambil saja cawan ini. Saya membayangkan diri saya menjadi Yesus, Tuhan aku akan korbankan semuanya. Aku akan dikhianati muridku, difitnah oleh bangsaku sendiri, bahkan dibunuh dengan disiksa dahulu. Demi mereka! Tak heran jika Yesus berdoa ambil saja cawan ini. Jika Yesus bersikap transaksional, sudah selesai kita semua. Aku mati di kayu salib untukmu, apa balasmu? Harus yang setimpal yah. Mahal lo darahKu? Kalau tidak bisa, ke neraka saja ya. Tapi doa Yesus tidak berhenti, masih ada sambungannya, tapi jika ini kehendak Tuhan biarlah terjadi seturut dengan kehendakNya.

Demonstrasi kasih terakbar yang pernah ada di dunia dan tidak akan pernah ada lagi. Contoh jelas bagi semua umat kristiani bagaimana untuk hidup beragama dan berelasi. Kasih tanpa syarat bukan terjebak dalam hubungan transaksional. Mungkin kita sudah melakukan dalam relasi kita dengan orang lain. Menariknya adalah, bagaimana kasih itu tetap menjadi kasih ketika kita yang menjadi obyek dari hubungan transaksional itu? Masih bisa kah kita mengatakan aku mengasihi orang yang menganiayaku?

Jatuh bangun kawan dekat saya ini berjuang tiap hari untuk berangkat ke kantor. Saya tahu betul dia setiap hari berjuang berangkat. Detik-detik akhir masa pengabdiannya segera tiba, kami mengira dia akan mengambil cuti besar, seperti kawan dokter lainnya. Tiga bulan sebelum pensiun dia sudah off tidak bekerja lagi. Tapi kawan ini menyelesaikan tugas hingga akhir, walaupun sekali lagi tugas terakhirnya tidak disukai atasan karena menampilkan dirinya. Atasan meminta keberadaannya dihapus saja. Sampai akhir masa bakti dia tetap memberi yang terbaik walaupun diperlakukan seperti itu. Saya sungguh melihat sebuah praktek hidup yang berbicara dahsyat menegur saya. Kebetulan kawan saya dan atasannya juga Nasrani.

Hidup tetap menyatakan kasih tanpa syarat dalam keadaan tidak pernah menerima imbalan pantas dari kerja kerasnya, mengajar saya bahwa kita semua selalu punya pilihan. Apalagi tetap mengerjakannya dengan terus melawan arus dunia akan terasa semakin sulit. Mengasihi orang yang jelas-jelas berbeda prinsip, mengasihi orang yang menyakiti, mengatakan kebenaran kepada mereka yang sudah tahu tapi tidak melakukannya, membawa suasana kerja yang berbeda. Oh jadi ini yang dikatakan menjadi garam yah. Jika kawan saya ini kemudian menjadi sama seperti mereka, mungkin itu istilahnya garam yang menjadi tawar.

Dunia transaksional ini perlu digarami! Kita dipanggil untuk berbeda, menjadi terang dan garam bagi dunia yang transaksional. Minimal ada dua yang bisa kita lakukan. Kita tidak perlu harus selalu menerima apa yang kita tabur. Malah seringkali mendapat perlakuan tidak seperti yang seharusnya kita dapatkan. Tapi bukan berarti kemudian kita berhenti berbuat baik. Bukan berarti orang baik akan selalu mendapatkan yang terbaik. Dan bukan berarti orang baik tidak bisa mengalami hal buruk. Lantas jika mengalami hal buruk, berarti dia bukan orang baik? Kadang pemakaian kata karma memang harus berhati-hati. Karena hal-hal buruk kadang terjadi untuk menjadi pelajaran hidup.

Lalu, kita masih harus terus memilih untuk mengerjakan yang terbaik, sesuai firman Tuhan sampai akhir. Bisa kita berdoa Tuhan ambillah cawan ini daripadaku. Tapi seringkali kita memang harus meminumnya. Ketaatan sampai akhir dari Yesus harus menjadi contoh dalam kita bersikap. Kita tidak akan pernah bisa membalas kebaikan Tuhan. Ketika kita melakukan “meminum cawan kita sampai habis” pun tidak akan pernah bisa membalas kasih Tuhan. Justru Tuhan berbicara, nak Aku tahu hidup berat dan sulit, Aku sudah melaluinya, mari ikutlah teladanKu. Seketika beban berat dalam hati menghilang Bersama air mata yang mengalir. Kasih tanpa syarat menyentuh hati kita. Menguatkan langkah untuk memberikan kasih tanpa syarat kepada sesama. Detik itu, saya belajar, kejadian buruk dapat menimpa kita karena ada keakuan besar yang sedang dikikis Tuhan. Keakuan untuk kesenangan pribadi. Keakuan untuk diterima. Keakuan untuk dianggap. Keakuan ini bak dinding yang dihancurkan oleh kasih Ilahi. Maka saat keakuan itu hilang, kita bisa taat sampai akhir, seperti kawan ini. Semakin nampaklah betapa kecilnya kita, dan betapa besarnya Tuhan. Dan kita dimampukan untuk mengerjakan extra miles. Tapi bukan extra miles manusia lagi, tapi extra miles standard Ilahi. Bahkan akan dengan mudah kita mengasihi musuh kita!

Akhir dari perenungan ini, kasih Kristus memang jawaban atas segala permasalahan di dunia, terutama dunia transaksional ini. Dunia tidak mengerti konsep kasih tanpa syarat. Semoga kita tidak terjebak dalam prakteknya. Apalagi menjadi aktor transaksional dalam bentuk apapun. Biarlah kasih Kristus yang menerangi setiap motivasi kita. Kasih Kristus memampukan kita merengkuh sesama dalam segala keterbatasannya. Tidak menerapkan double standard dan belajar tidak menerima hak yang mungkin seharusnya kita terima. Tuhan Yesus memberkati! (t)

Jumat, November 26, 2021

Keguguran

 

Kebahagiaan dan kedukaan hadir mewarnai hidup untuk lebih dalam mengenal Sang Pelukis Semesta. Satu tahun menikah, Tuhan mengizinkan akhirnya dua garis test kehamilan sebagai kado dalam pernikahan kami. Sebagai manusia kami benar-benar bersyukur karena akhirnya Tuhan menganugrahkan jawaban doa kami. Kabar kehamilan hadir setelah perjuangan melawan covid. Saat itu benar-benar menghibur hati kami setelah melalui banyak pergumulan. Kabar ini sungguh membahagiakan karena akhirnya Tuhan membuka rahim saya.

Pada waktu itu kami melihat ini benar-benar anugrah dari Tuhan. Kami melihat Tuhan adalah Tuhan yang mendengar doa kami. Masih teringat dalam doa malam waktu itu, “Tuhan, anak ini milikMu, pada waktuMu panggillah dia menjadi hambaMu yang taat mengerjakan panggilanMu.” Tidak disangka, pada kehamilan usia genap delapan minggu, Tuhan izinkan buah hati kami diambil Tuhan. Tuhan panggil dia, bukan untuk terus berkembang dan tumbuh besar mengerjakan panggilanNya suatu hari nanti, tapi dipanggil pulang. Ternyata kehendakNya atas anak ini berbeda dari yang kami doakan.

Dalam keadaan payah, sakit dan berjuang bangkit, kami belajar bersyukur dan terus mencari Tuhan dalam masalah ini. Tuhan apa yang Engkau ingin sampaikan melalui kejadian ini? Adakah kesalahan yang kami buat? Adakah hal yang ingin Kau ubahkan dari kejadian ini?

Dalam masa berkabung, Allah berbicara dengan jelas melalui kitab Amos.”“Sekalipun Aku ini telah memberi kepadamu gigi yang tidak disentuh makanan di segala kotamu dan kekurangan roti di segala tempat kediamanmu, namun kamu tidak berbalik kepadaKu,” demikianlah firman Tuhan. “Aku pun telah menahan hujan dari padamu, ketika tiga bulan lagi sebelum panen; Aku menurunkan hujan ke atas kota yang satu dan tidak menurunkan hujan ke atas kota yang lain; ladang yang satu kehujanan dan ladang yang tidak kena hujan, menjadi kering; penduduk dua tiga kota pergi terhuyung huyung ke satu kota untuk minum air, tetapi mereka tidak menjadi puas; namun kamu tidak berbalik kepadaKu,” demikianlah firman Tuhan.” Bukannya marah, karena Tuhan memberi jawaban tegas dan jelas seperti ini, respon kali itu sungguh membahagiakan. Kami berbulan-bulan sejak awal menikah bergumul kapan waktu terbaik untuk satu kota, hidup satu atap dan satu tanah untuk dipijak. Firman ini menguatkan inilah saatnya. Kami sungguh menanti-nantikan waktu Tuhan. Ternyata Tuhan memakai keguguran, masa-masa sulit sebelum ini lainnya, untuk meyakinkan orang tua dan banyak rekan kerja yang tidak rela ditinggal.

Bagaimana tidak, orang tua mana yang tidak akan terguncang ketika akan ditinggal anak yang selama ini dibesarkan. Bagaimana tidak, rekan kerja mana yang tidak terima karena orang yang selama ini sendika dhawuh (taat sepenuhnya) mau mengerjakan semua hal lalu harus pergi meninggalkan pekerjaan esensial yang banyak sekali. Dalam kesedihan kami, Allah menghibur kami dengan memperlihatkan bahwa Dia sungguh mengerti kesulitan yang kami alami dan kerindukan hati yang kami inginkan. Dia juga Allah yang mengenal lingkungan kami, yang cukup keras hati dan membutuhkan alasan kuat untuk sebuah keputusan besar (baca meninggalkan kota Semarang dan mereka). Mereka adalah orang-orang yang tidak menerima alasan “ini adalah kehendak Tuhan” atau “jawaban Tuhan untuk pergumulan kami adalah ini”. Mungkin orang tua tidak separah ini. Tapi Tuhan lebih tahu kondisi tempat kerja.

Hari itu, Allah benar benar memberi jawaban tidak hanya untuk kami, tapi juga untuk semua orang di sekitar kami. Kami sungguh melihat Dia adalah Allah penguasa semesta. Dia tidak perlu menjawab dengan banyak kalimat. Hari itu hanya dari tiga ayat, Dia menjawab telak kepada semua pihak dalam pergumulan ini. Keluarga maupun kolega semua sejak awal juga mengerti bahwa kami harus hidup sekota, hanya seperti tidak kuasa untuk mempercayai Allah untuk kehidupan kami setelah pindah. Seketika, kesedihan akan keguguran, diubahkan Tuhan menjadi sebuah kekuatan bagi kami. Yeay, sebentar lagi kami akan serumah!

Melalui peristiwa ini, kami belajar, Allah mengenal kami dan seluruh orang di sekitar kami. Awalnya kami khawatir akan keputusan besar ini, bagaimana memberanikan diri membuat keputusan besar tapi semua orang dalam lingkar terdekat kami mengerti dan menerima dengan lapang dada dan bahkan mendukung kami. Kami bisa saja koboy-koboyan langsung berkeputusan untuk pergi, tapi Tuhan mengajar hal yang bernama kebijaksanaan. Kami tetap pergi tapi dalam kondisi sukacita dan semua orang melihat dengan jelas bahwa ini keputusan Tuhan. Hari ini pada akhirnya kami bersyukur karena melihat mereka mengakui ada Tuhan yang mengatur hidup kami, paling tidak itu, walau beberapa kolega belum bisa terima.

Hal kedua, Tuhan memakai semua peristiwa pahit dalam hidup untuk menyatakan pada banyak orang bahwa Tuhan menegur untuk kembali bersekutu dan hanya menaati perintahNya. Sejak awal tidak ada keinginan untuk tidak taat mengabdi di Tana Timor, tapi melalui Firman Tuhan ini sekitar kami kembali melihat bahwa keputusan kami semata-mata hanya menuruti perintah Tuhan. Hidup adalah anugrah, keluarga adalah anugrah, begitu juga dengan pekerjaan, semua semata-mata anugrah. Di sisi lain, Tuhan juga berkuasa memberi, juga berkuasa mengambil. Allah menggelar sebuah pelajaran, apapun pemberian Tuhan, kehendakNya adalah menaati perintahNya. Kali ini Tuhan mengizinkan kehilangan untuk mencelikkan bahwa ada perintah yang harus segera kami kerjakan. Kami bersyukur bahwa Tuhan tidak hanya berbicara kepada kami, tapi juga kepada banyak orang.

Terakhir, kami melihat, kami bersukacita! Tiga ayat ini menghadirkan keyakinan kepada keluarga (terutama) yang sekaligus meneguhkan kami. Sekali lagi kami melihat, jika Tuhan sudah buka pintu, Dia akan selesaikan! Keyakinan yang kami pegang sejak berelasi sebagai kekasih hingga hari ini semua dalam kontrol pengaturan Tuhan. Anugrah dan kasihNya terus berjalan beriringan. Walau harus berputar 40 tahun di padang gurun, Bangsa Israel tetap berakhir di Tanah Kanaan. Kami tidak berharap 40 tahun, kami berharap masa penantian ini segera berakhir. Kami hanya percaya, Dia akan membawa kami ke Tanah PerjanjianNya.

Akhirnya, kembali lagi, semua adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia. Bukan kita yang menentukan hidup kita. Bahkan ketika Tuhan sudah berkehendak, bukan kita yang menentukan jalan prosesnya. Terkadang, jalan itu tidak sesuai rencana manusia. Kita tidak sedang menyombongkan diri karena mengerti kehendakNya lalu membantuNya dengan membuat rencana sendiri. Tapi kita mau sama sama percaya, Dia akan mengumpulkan serpihan hati yang patah dan memberi pengharapan baru. Yesus memang tidur saat badai, Yesus ada dalam hidup kita tapi bukan berarti tidak akan ada badai. Dan walaupun ada badai, Yesus ada dalam hidup kita. Kiranya makin hari, kita makin menjadi hamba yang sesungguhnya hambaNya. Ternyata perjalanan menyangkal diri tidak mudah yah.. Tuhan memberkati.. (JnT)

Minggu, September 30, 2018

Mold me

Grace alone which God supplies
Strength unknown He will provide
Christ's in us, our cornerstone
We will go forth in grace alone

Lagu ini sungguh mengena untukku akhir2 ini. Semua pergumulan ini dimulai dari pergumulan kesehatan, merembet ke pergumulan pekerjaan 1 lalu ke pekerjaan 2, merembet lagi ke pergumulan lainnya.., maksudku ada drama di pekerjaan kedua yg sempat mengesalkan. Ouch.. Lelah lo bener! Rasanya pingin teriaaaakkkk... Aku ga sehebat itu Tuhan untuk menanggung ini semua. Semua ini terlalu sesuatu..

Pergumulan kesehatan yang sempat membuatku sangat lemas, akhirnya mengajariku untuk bersyukur dalam musim apapun di hidupku. Bukan perkara mudah! Tapi aku memang mengakui ada kekuatan surgawi yang nyata kurasa. Sedangkan pergumulan pekerjaan ini sangat sangat menyita perasaan.

Aku belum bs menceritakannya dengan baik karena belum ada akhirnya, belum tahu nantinya seperti apa. Jadi masih perlu berdoa dlu. Yang pasti aku sebagai manusia, yang perempuan jg, ingin sekali segera selesai dua part ini. Karena sangat drama dan menguras emosi. Rasanya tersandera kalo boleh pinjem istilah Ibu. Aaah, Tuhan sudah hampir 1 tahun loh perjuangan ini dimulai.., saya akan belajar lebih percaya lagi bahwa Engkau sendiri yang akan bertindak.

Let Your will be done, Lord.. 🙏

Belas Kasihan

dr. Prasarita Esti Pudyaningrum Hidup di dunia penuh tuntutan, target tinggi, dan penuh dengan ekspektasi melampaui batas dari orang lain ...